Tentang Suap Menyuap

Masyarakat masih menganggap suap sebagai hal yang wajar, lumrah, dan tidak menyalahi aturan. Suap terjadi hampir di semua aspek kehidupan dan dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Banyak yang belum memahami bahwa suap, baik memberi maupun menerima, termasuk tindak korupsi.

Suap dianggap sebagai bentuk primitif dan induk korupsi. Suap adalah awal lahirnya budaya koruptif dalam skala luas yang terjadi saat ini.

Contoh paling sederhana dari suap adalah memberi hadiah kepada seseorang atau keluarganya, yang berhubungan dengan jabatan yang dimilikinya, sebagai bentuk terima kasih atas jasa yang diberikan.
Tradisi pemberian hadiah yang semula bermaksud baik akhirnya justru disalahgunakan demi keuntungan pribadi dan saling menguntungkan antara pemberi dan penerima.

Aplikasi suap terjadi mulai dari hal yang sederhana dan sepele hingga urusan kenegaraan yang rumit. Suap terjadi mulai dari pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) hingga pembuatan undang-undang (UU) di lembaga legislatif.

Dalam masyarakat yang kian materialistis, adagium "tak ada yang gratis" menjadi acuan. Akibatnya, sesuatu yang menjadi kewajiban seseorang, karena jabatannya menjadi "diperjualbelikan" demi keuntungan pribadi. Jaksa Agung Hendarman Supandji seusai pembukaan seminar regional bertemakan "Melawan Penyuapan dalam Pengadaan Barang
dan Jasa Publik" di Nusa Dua, Bali, awal November lalu, mengatakan, perang melawan suap sudah ada sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Suap diatur dalam Pasal 417-418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dirujuk dari hukum pidana masa penjajahan.

Namun, suap bukan monopoli masyarakat Timur. Di berbagai negara maju, suap masih banyak terjadi dengan berbagai bentuk. Suap juga tidak hanya terjadi di sektor pemerintahan atau publik, tetapi juga terjadi di sektor swasta dan korporasi yang melibatkan antarperusahaan atau antara perusahaan dan pejabat publik.

Perbedaannya, suap di negara maju lebih mampu diminimalkan jumlah dan dampaknya. Aturan dan sanksi yang jelas dan tegas, baik sanksi hukum maupun sosial, membuat banyak pelaku suap, termasuk yang kelas kakap, mampu dijerat hukum. Namun di Indonesia, hal itu sepertinya belum berlaku. Padahal, hukum dan aturan yang melarang suap tersedia sejak Indonesia merdeka.

Kesadaran akan dampak dan kerugian suap juga bukan hal baru. Sejak lebih dari 20 tahun lalu, begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo menyinyalir adanya penguapan 30-50 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akibat suap dan tindak koruptif lainnya, yang menyebabkan terbengkalainya kepentingan publik.

Kesalahan yang terjadi sejak lama dan dibiarkan terjadi secara terus-menerus membuat suap menjadi tindakan yang seolah-olah dibenarkan. Bahkan, masyarakat menganggap suap sebagai hal yang "dibenarkan" .

Sudah menjadi rahasia umum bila masyarakat hingga kini masih beranggapan, untuk menjadi pegawai negeri sipil atau anggota TNI/Polri selalu harus disertai dengan suap dengan nilai hingga puluhan juta rupiah. Dengan semakin sempitnya ketersediaan lapangan kerja, anggapan ini juga merambah ke sektor swasta dan menyentuh kelas masyarakat ekonomi paling bawah.

Menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Rizal Malik, rakyat Indonesia memiliki kreativitas tinggi dalam hal penyuapan, jika dibandingkan dengan negara lain. Mereka memiliki berbagai cara dan teknik untuk mengatasi kendala dan aturan hukum yang kemungkinan akan menjerat mereka. "Canggihnya kreativitas masyarakat dalam penyuapan membuat tindak korupsi sulit dibuktikan," katanya.

Di beberapa negara lain, proses penyuapan masih menyertakan tanda bukti yang disertai penyebutan nama, jabatan, dan tanda tangan dengan jelas. Adapun di Indonesia, penyuapan umumnya dilakukan tanpa transaksi perbankan, tanpa tanda bukti apa pun, dan terkadang diberikan melalui jasa perantara.

Untuk mengelabui hasil penyuapan, penerima sering kali menjadikan hasil suap itu sebagai harta kekayaan istri, anak, atau anggota keluarga yang lain. Bahkan, tak jarang harta hasil korupsi ini digunakan untuk amal kemanusiaan.

Menurut Rizal, hukum dan aturan untuk mencegah penyuapan di Indonesia sudah memadai jika dibandingkan dengan negara lain. Namun, penyuapan tetap sulit dicegah. "Semakin ketat aturan yang dibuat untuk mencegah suap, semakin tinggi pula kreativitas orang Indonesia untuk menghindari aturan yang ada," kata dia lagi. Sosiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Hotman Siahaan, menambahkan, tingginya kreativitas masyarakat Indonesia dalam suap disebabkan kultur masyarakat yang lunak. Kerangka kultural yang penuh pertimbangan ini membuat masyarakat selalu berusaha untuk menyiasati segala aturan yang ada.

Masyarakat yang tidak rigid juga membuat hukum yang dibuatnya pun tidak tegas. Aturan hukum terkadang keras, tetapi di bagian lain justru sangat lunak. Ketidakpastian hukum ini membuat hukum sangat mudah disiasati.

Tingginya tingkat kekerabatan masyarakat atas dasar berbagai ikatan primordial juga membuat penegakan hukum tidak bisa dilakukan dengan tegas. Hukum hanya berlaku untuk kelompok masyarakat tertentu, namun tak digunakan untuk kelompok yang lain. "Transaksi dalam masyarakat, termasuk suap dan penegakan hukum, masih didasari atas alasan emosional dan kultural, bukan atas dasar legal rasional," kata Hotman. Kondisi ini membuat pemberantasan korupsi yang dilakukan sejak dulu hingga kini hanya drama penegakan hukum. Hampir semua pejabat public.

0 comments:

Post a Comment